inila adalah contoh masalah dari IPR dan IPK serta pasalnya :
BAB
IX
IZIN
PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal
66
Kegiatan
pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikelompokkan sebagai
berikut:
a.
pertambangan mineral logam;
b.
pertambangan mineral bukan logam;
c.
pertambangan batuan; dan/atau
d.
pertambangan batubara.
Pasal
67
(1) Bupati/walikota memberikan IPR
terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat
dan/atau koperasi.
(2)
Bupati/walikota dapat melimpahkan
kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib
menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota.
Pasal
68
(1)
Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang
dapat diberikan kepada:
a.
perseorangan paling banyak 1 (satu)
hektare;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5
(lima) hektare; dan/atau
c.
koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
(2)
IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.
Pasal
69
Pemegang
IPR berhak:
a. mendapat pembinaan
dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
b. mendapat bantuan
modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
70
Pemegang IPR wajib:
a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3
(tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;
b.
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;
c.
mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;
d.
membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan
e.
menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara
berkala kepada pemberi IPR.
Pasal
71
(1)
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, pemegang IPR dalam
melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal
72
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah
kabupaten/kota.
Pasal 73
(1)
Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan,
teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan
kemampuan usaha pertambangan rakyat.
(2)
Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada
usaha pertambangan rakyat yang meliputi:
a.
keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
pengelolaan lingkungan hidup; dan
c.
pascatambang.
Untuk
melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah
kabupaten/kota wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Pemerintah kabupaten/kota
wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat
yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri
dan gubernur setempat.
Soal :
Mencari
maksud dan tujuan, penyesuaian untuk saat ini serta solusi dari setiap bab
ditentukan pada UU No.4 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara???
BAB IX
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Maksud dan Tujuan :
a. Menjelaskan
pihak-pihak berwenang yang memberi izin
b.
Batasan wilayah :
-
Peorangan , max 1 Ha
-
Kelompok, max 5 Ha
-
Koperasi , max 10 Ha
c.
Hak IPR :
-
mendapat pembinaan dan
pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
-
mendapat bantuan modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Kewajiban
IPR :
-
melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3
(tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;
-
mematuhi peraturan
perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,
pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;
-
mengelola lingkungan
hidup bersama pemerintah daerah;
-
membayar iuran tetap
dan iuran produksi; dan
-
menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi
IPR.
e. Kewajiban
pemerintah mengangkat pejabat fungsional untuk mengisi divisi-divisi pada
departemen pertambangan di suatu daerah
PENYESUAIAN DAN SOLUSI IPR
Sumbawa Besar, Gaung NTB Pertanyaan
fraksi dewan tentang pertambangan dan tambang illegal di Olat Labaong Desa
Hijrah Kecamatan Lape, mendapat jawaban dari Bupati Sumbawa, Drs H Jamaluddin
Malik pada sidang paripurna DPRD beberapa hari lalu.
Dalam jawabannya, Bupati mengatakan, PP Nomor 75 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP Nomor 32 tahun 1969 tentang pelaksanakan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan Perda Nomor 8 tahun 2002 tentang usaha pertambangan umum, pemberian Izin Kuasa Pertambangan (IUP) dimungkinkan atas permohonan izin dari setiap warga negara baik individu maupun badan hukum.
Hal ini jelas JM sapaan akrab Bupati Sumbawa, merupakan salah satu kelemahan dari UU Nomor 11 tahun 1967 dimana pemberian Surat Keputusan Kuasa Pertambangan (SKKP) tidak harus didasarkan pada ketersediaan data pertambangan.
Dalam kurun waktu tersebut kata JM, Pemerintah Daerah telah menerbitkan sekitar 25 IUP sejak tahun 2006 lalu, kemudian dalam perjalannya terdapat 5 (lima) IUP yang telah dicabut, karena izin yang habis masa berlakunya dan izin yang dikembalikan kepada pemerintah daerah atas inisiatif pemohonnya.
Dalam jawabannya, Bupati mengatakan, PP Nomor 75 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP Nomor 32 tahun 1969 tentang pelaksanakan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan Perda Nomor 8 tahun 2002 tentang usaha pertambangan umum, pemberian Izin Kuasa Pertambangan (IUP) dimungkinkan atas permohonan izin dari setiap warga negara baik individu maupun badan hukum.
Hal ini jelas JM sapaan akrab Bupati Sumbawa, merupakan salah satu kelemahan dari UU Nomor 11 tahun 1967 dimana pemberian Surat Keputusan Kuasa Pertambangan (SKKP) tidak harus didasarkan pada ketersediaan data pertambangan.
Dalam kurun waktu tersebut kata JM, Pemerintah Daerah telah menerbitkan sekitar 25 IUP sejak tahun 2006 lalu, kemudian dalam perjalannya terdapat 5 (lima) IUP yang telah dicabut, karena izin yang habis masa berlakunya dan izin yang dikembalikan kepada pemerintah daerah atas inisiatif pemohonnya.
Kemudian pada tahun 2009 terbitlah
UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mencabut
UU Nomor 11 tahun 1967 yang dalam salah satu pasalnya mengamanatkan untuk
diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU Nomor
4 tahun 2009 tersebut. Selanjutnya pada tanggal 1 Februari 2010 pemerintah
menerbitkan PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Yang dalam pasal 112 tentang ketentuan
peralihannya PP tersebut mengamanatkan agar semua izin pertambangan yang telah
diberikan sebelumnya wajib disesuaikan maksimal 3 (tiga) bulan sejak berlakunya
PP tersebut.
Oleh karena itu kata JM, pemerintah daerah pada tahun 2010 telah melakukan penyesuaian dari izin kuasa pertambangan (KP) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap 20 izin KP yang telah diterbitkan sebelumnya. Jadi perlu ditegaskan kata JM, pasca berlakunya UU NOmor 4 tahun 2009, pemerintah daerah belum menerbitkan satu izin pertambangan pun. Pemerintah daerah hanya melakukan penyesuaian terhadap izin yang telah ada sebelumnya. Dipaparkan JM dalam jawabannya, ada perbedaan mendasar antara UU NOmor 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan BatuBara. Dalam undang-undang terdahulu, pemberian izin dapat dilakukan meski tanpa ketersediaan data potensi tambang, sedangkan pada undang-undang yang baru pemberian izin wajib menyertakan data potensi tambang karena dilaksanakan melalui mekanisme lelang. Oleh karena itu pemberian izin pertambangan pasca berlakunya UU Nomor 4 tahun 2009 wajib dilaksanakan melalui mekanisme lelang, tidak lagi berdasarkan usulan ataupun permohonan.
Kemudian terkait dengan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menurut JM, bahwa WPN merupakan bagian dari wilayah pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional, yaitu wilayah-wilayah di dalam rencana umum tata ruang nasional dianggap strategis. Sementara WPR adalah bagian dari wilayah pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Adapun perihal penetapan WPN adalah kewenangan pemerintah pusat melalui persetujuan DPR RI dengan memperhatikan aspirasi daerah, sementara WPR ditetapkan oleh bupati setelah berkonsultasi dengan DPRD. Café Batu Gong Pada kesempatan yang sama, JM juga menjelaskan Cafe Batu Gong yang mendapat pertanyaan dari beberapa fraksi dewan. JM menegaskan sampai dengan saat ini pemerintah daerah secara terpadu dengan kepolisian tetap melakukan operasi penertiban pemantauan dan penindakan. Pada tanggal 4 Januari 2010 menurut JM, pemerintah daerah telah menyampaikan peringatan keras melalui surat Nomor 180/001/hk/2010 untuk penghentian segala aktivitas usaha/kegiatan di kafe Batu Gong dan melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memberikan tenggang waktu selama 7 hari.
surat peringatan tersebut diterima oleh pengusaha pengelola kafe di Batu Gong pada tanggal 11 Januari 2010, dan pada angka 1 (satu) surat peringatan tersebut meberikan batas waktu paling lambat 7 (tujuh) hari untuk menghentikan aktifitas kegiatan. Namun pada tanggal 16 Januari 2010, pimpinan DPRD Kabupaten Sumbawa memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Cafe Batu Gong, sehingga untuk menghormati keputusan dimaksud, eksekutif menghentikan sementara eksekusi sampai dengan dikeluarkannya rekomendasi oleh Pansus DPRD tersebut. “Kami berharap setelah hasil Pansus DPRD diparipurnakan, maka ada kebersamaan yang harmonis dari kedua lembaga ini, sehingga langkah-langkah solutif yang tepat dapat segera kita tempuh dan melalui kesempatan ini, perlu juga kami sampaikan bahwa menghadapi bulan ramadhan ini, maka aktivitas kafe-kafe tersebut diharapkan untuk dihentikan,”
Oleh karena itu kata JM, pemerintah daerah pada tahun 2010 telah melakukan penyesuaian dari izin kuasa pertambangan (KP) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap 20 izin KP yang telah diterbitkan sebelumnya. Jadi perlu ditegaskan kata JM, pasca berlakunya UU NOmor 4 tahun 2009, pemerintah daerah belum menerbitkan satu izin pertambangan pun. Pemerintah daerah hanya melakukan penyesuaian terhadap izin yang telah ada sebelumnya. Dipaparkan JM dalam jawabannya, ada perbedaan mendasar antara UU NOmor 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan BatuBara. Dalam undang-undang terdahulu, pemberian izin dapat dilakukan meski tanpa ketersediaan data potensi tambang, sedangkan pada undang-undang yang baru pemberian izin wajib menyertakan data potensi tambang karena dilaksanakan melalui mekanisme lelang. Oleh karena itu pemberian izin pertambangan pasca berlakunya UU Nomor 4 tahun 2009 wajib dilaksanakan melalui mekanisme lelang, tidak lagi berdasarkan usulan ataupun permohonan.
Kemudian terkait dengan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menurut JM, bahwa WPN merupakan bagian dari wilayah pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional, yaitu wilayah-wilayah di dalam rencana umum tata ruang nasional dianggap strategis. Sementara WPR adalah bagian dari wilayah pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Adapun perihal penetapan WPN adalah kewenangan pemerintah pusat melalui persetujuan DPR RI dengan memperhatikan aspirasi daerah, sementara WPR ditetapkan oleh bupati setelah berkonsultasi dengan DPRD. Café Batu Gong Pada kesempatan yang sama, JM juga menjelaskan Cafe Batu Gong yang mendapat pertanyaan dari beberapa fraksi dewan. JM menegaskan sampai dengan saat ini pemerintah daerah secara terpadu dengan kepolisian tetap melakukan operasi penertiban pemantauan dan penindakan. Pada tanggal 4 Januari 2010 menurut JM, pemerintah daerah telah menyampaikan peringatan keras melalui surat Nomor 180/001/hk/2010 untuk penghentian segala aktivitas usaha/kegiatan di kafe Batu Gong dan melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memberikan tenggang waktu selama 7 hari.
surat peringatan tersebut diterima oleh pengusaha pengelola kafe di Batu Gong pada tanggal 11 Januari 2010, dan pada angka 1 (satu) surat peringatan tersebut meberikan batas waktu paling lambat 7 (tujuh) hari untuk menghentikan aktifitas kegiatan. Namun pada tanggal 16 Januari 2010, pimpinan DPRD Kabupaten Sumbawa memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Cafe Batu Gong, sehingga untuk menghormati keputusan dimaksud, eksekutif menghentikan sementara eksekusi sampai dengan dikeluarkannya rekomendasi oleh Pansus DPRD tersebut. “Kami berharap setelah hasil Pansus DPRD diparipurnakan, maka ada kebersamaan yang harmonis dari kedua lembaga ini, sehingga langkah-langkah solutif yang tepat dapat segera kita tempuh dan melalui kesempatan ini, perlu juga kami sampaikan bahwa menghadapi bulan ramadhan ini, maka aktivitas kafe-kafe tersebut diharapkan untuk dihentikan,”
BAB
X
IZIN
USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal
74
(1)
IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah.
(2)
IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral
logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK.
(3)
Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di
dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
(4)
Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.
(5)
Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak
berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.
(6)
Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang
ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain
tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
(7)
IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat
diberikan kepada pihak lain oleh Menteri.
Pasal
75
(1)
Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74ayat (1) dilakukan
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
2)
IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, maupun badan usaha swasta.
(3)
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
(4)
Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK
dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.
Pasal
76
(1) IUPK terdiri atas
dua tahap:
a.
IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b.
IUPK Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
(2)
Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal
77
(1)
Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi
sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
(2)
IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal
78
IUPK Eksplorasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya wajib
memuat:
a.
nama perusahaan;
b.
luas dan lokasi wilayah;
c.
rencana umum tata ruang;
d.
jaminan kesungguhan;
e.
modal investasi;
f.
perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g.
hak dan kewajiban pemegang IUPK;
h.
jangka waktu tahap kegiatan;
i.
jenis usaha yang diberikan;
j.
rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
k.
perpajakan;
l.
penyelesaian perselisihan masalah pertanahan;
m.
iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n.
amdal.
Pasal
79
IUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya wajib
memuat:
a.
nama perusahaan;
b.
luas wilayah;
c.
lokasi penambangan;
d.
lokasi pengolahan dan pemurnian;
e.
pengangkutan dan penjualan;
f.
modal investasi;
g.
jangka waktu tahap kegiatan;
h.
penyelesaian masalah pertanahan;
i.
lingkungan hidup, termasuk reklamasi da pascatambang;
j.
dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang;
k.
jangka waktu berlakunya IUPK;
l.
perpanjangan IUPK;
m.
hak dan kewajiban;
n.
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
o.
perpajakan;
p.
iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/daerah, yang terdiri atas bagi hasil
dari keuntungan bersih sejak
berproduksi;
q.
penyelesaian perselisihan;
r.
keselamatan dan kesehatan kerja;
s.
konservasi mineral atau batubara;
t.
pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun
dalam negeri;
u.
penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;
v.
pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w.
pengelolaan data mineral atau batubara;
x.
penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau
batubara;
y.
divestasi saham.
Pasal
80
IUPK
tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK.
Pasal
81
(1)
Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK
Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib
melaporkan kepada Menteri.
(2)
Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk
melakukan pengangkutan dan penjualan.
(3)
Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri.
Pasal
82
Mineral
atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai iuran
produksi.
Pasal 83
Persyaratan
luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang
berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:
a.
luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam
diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b.
luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral
logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan
eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000
(lima puluh ribu) hektare.
d. luas 1 (satu) WIUPK
untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan
luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e.
jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan
paling lama 8 (delapan) tahun.
f.
jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama
7 (tujuh) tahun.
g.
jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing
10
(sepuluh) tahun
Pasal
84
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Soal :
Mencari
maksud dan tujuan, penyesuaian untuk saat ini serta solusi dari setiap bab
ditentukan pada UU No.4 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara???
BAB X
IUPK
(Izin Usaha Pertambangan Khusus)
Maksud dan
Tujuan :
Pemanfaatan
kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh
anfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan
tidak mengurangi fungsi utamanya. Izin usaha pemanfaatan kawasan yang
selanjutnya disingkat IUPK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan
kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
Dasar
Hukum
a.
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No.3 Tahun 2008;
Kriteria
IUPK
dapat diberikan dengan ketentuan: a. paling luas 50 (lima puluh) hektar; b.
setiap perorangan atau koperasi dapat memiliki paling banyak 2 (dua) izin untuk
setiap kabupaten/kota.
Usaha
Pemanfaatan
kawasan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha :
a.
budidaya tanaman obat;
b.
budidaya tanaman hias;
c.
budidaya jamur;
d.
budidaya lebah;
e.
penangkaran satwa; dan
f.
budidaya sarang burung walet.
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi
tersebut tidak bersifat limitatitf dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain,
dengan ketentuan :
a. luas areal pengolahan dibatasi;
b.
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
c.
tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan
d.
tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. (PP.No. 6
Tahun 2007).
Hak
Dan Kewajiban
Hak
:
a.
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan berhak melakukan kegiatan dan
memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya.
b.
Setiap pemegang IUPK berhak mengajukan perpanjangan izin. Permohonan
perpanjangan tersebut harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum izin
berakhir; Kewajiban : Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, wajib : a.
menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja b. melaksanakan kegiatan nyata
di lapangan untuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan hutan,
c.
melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya;
d.
menata-usahakan keuangan kegiatan usahanya sesuai standar akuntansi kehutanan
yang berlaku bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hutan;
e.
mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi
persyaratan sesuai kebutuhan;
f.
membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.
g.
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, dilarang menebang kayu yang
dilindungi.
Larangan
:
Perijinan
a.
Masa Berlaku Izin Jangka waktu IUPK pada hutan produksi diberikan paling lama 5
(lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat diperpanjang. Perpanjangan
IUPK diberikan berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 1 (satu) tahun oleh
pemberi izin.
b.
Kewenangan Pemberian Izin IUPK pada hutan produksi diberikan oleh : 1.
Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada dalam wilayah kewenangannya,
dengan tembusan kepada Menteri, gubernur dan kepala KPH; 2. Gubernur, pada
kawasan hutan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya,
dengan tembusan kepada Menteri, bupati/walikota, dan kepala KPH; 3. Menteri,
pada kawasan hutan lintas provinsi, dengan tembusan kepada gubernur,
bupati/walikota, dan kepala KPH; 4. Menteri, pada areal yang telah dibebani
IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi yang belum
mencapai keseimbangan ekosistem, dengan tembusan kepada gubernur,
bupati/walikota dan kepala KPH.
c.
Subyek Penerima Izin IUPK dapat diberikan kepada : a. perorangan; atau b.
koperasi. d. Tata Cara Perizinan (diagram) Jumlah ,Sebaran ,Produksi
,Sertifikasi ,Link Jumlah ,Link Sebaran.
PENYESUAIAN DAN SOLUSI IUPK
Dalam RPP
dijelaskan, yang dimaksud WIUP adalah wilayah atau bagian dari wilayah usaha
pertambangan batubara, mineral logam, mineral bukan logam dan batuan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.
Lalu, setiap usaha pertambangan bahan galian mineral logam dan batubara dapat
dilaksanakan setelah mendapat WIUP dengan cara lelang. Kepada pemenang lelang,
langsung diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kemudian setiap usaha
pertambangan mineral bukan logam dan mineral batuan, dapat dilaksanakan setelah
mendapat WIUP dengan cara permohonan wilayah. WIUP ini nantinya akan diberikan
oleh menteri, gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya kepada badan
usaha, koperasi atau perorangan.
Sejak
disahkan menjadi Undang-Undang, sejumlah perusahaan tambang batubara milik
negara (BUMN) masih khawatir dengan RPP Minerba. Seperti dikatakan oleh
Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk Alwin Syah Lubis beberapa waktu lalu, ia mengkhawatirkan soal domestic market obligation
(DMO). Menurutnya, DMO dapat dilaksanakan sepanjang hasil tersedia di pasar
domestik dapat menerima produk-produk yang dihasilkan dan sesuai dengan harga
pasar. Apabila pasar dalam negeri tidak tersedia maka BUMN diperbolekan untuk
mengekspor ke luar negeri, katanya.
Kekhawatiran
Alwin itu dijawab dalam RPP ini. Disebutkan di RPP tersebut, Pemegang IUP dan
IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Operasi Produksi wajib mengutamakan
kepentingan dalam negeri dan mendukung keamanan pasokan mineral dan/atau
batubara untuk kebutuhan dalam negeri. Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi
juga dapat menjual mineral atau batubara yang diproduksi ke luar negeri,
sepanjang dapat memenuhi kebutuhan mineral atau batubara dalam negeri pada
kurun waktu yang ditentukan.
Nantinya,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kewajiban pemasokan
kebutuhan mineral untuk dalam negeri oleh pemegang IUP dan IUPK Operasi
Mineral, dengan mempertimbangkan kebutuhan mineral dalam negeri yang meliputi
kebutuhan mineral untuk pemakaian langsung di dalam negeri. Penetapan besaran
dan kewajiban pemasokan kebutuhan mineral untuk dalam negeri selanjutnya diatur
dengan Peraturan Menteri ESDM.
Praktisi
hukum pertambangan Dendi Adisuryo menegaskan, IUP bagi perusahaan non
pertambangan yang akan menjual barang tambang (seperti diatur di Pasal 105)
hanya untuk satu kali transaksi. Ini berkaitan dengan domestic market
obligation agar tidak diakal-akali DMO-nya, katanya. Ke depan, akan ada arah pembatasan perusahaan non-pertambangan untuk jual
barang tambang.
Selain DMO, ketentuan lain yang
perlu diperhatikan, kata Alwin Syah Lubis, menyangkut kewajiban pengolahan dan
pemurnian (Pasal 103 ayat (1)). Kewajiban pengolahan dan pemurnian hanya diatur
bagi perusahaan yang memegang Kontrak Karya (KK). Menurutnya, tidak jelas
apakah pengelohan dan pemurnian diberlakukan juga bagi pemegang Kuasa
Pertambangan (KP). Apabila hal ini berlaku juga bagi pemegang KP maka akan berdampak
pada aktivitas operasional BUMN yang masih mengekspor bijih sebelum dapat
membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian dalam jangka waktu tahun,
tandasnya.
Untuk mejawab pertanyaan Alwin
tadi, dalam RPP diterangkan, pemegang IUP dan IUPK Operasi dan Produksi Mineral
wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah
mineral yang diproduksi, baik secara langsung, kerja sama maupun melalui pihak
lain di dalam negeri, termasuk di dalamnya BUMN, BUMD, swasta, koperasi atau perseorangan
di dalam negeri. Pemegang IUP dan IUPK Operasi dan Produksi Mineral dilarang
mengekspor mineral yang diproduksi sebelum diolah dan/atau dimurnikan, baik
secara langsung, kerjasama maupun melalui pihak lain di dalam negeri, termasuk
di dalamnya BUMN, BUMD, swasta, koperasi atau perseorangan di dalam negeri.
Kemudian, pemegang IUP dan IUPK
Operasi dan Produksi Batubara wajib melakukan pengolahan dan/atau pencucian
untuk meningkatkan nilai tambah batubara yang diproduksi. Pemegang IUP dan IUPK
Operasi dan Produksi batubara juga dilarang menjual batubara yang diproduksi
sebelum diolah dan/atau dicuci.
Divestasi Saham
Lantas bagaimana dengan ketentuan
divestasi saham perusahaan tambang asing? Tentu masih hangat dalam ingatan kita
mengenai kasus divestasi saham Newmont, dimana Pemerintah menang di jalur arbitrase lantaran perusahaan tambang
asal negeri Paman Sam, Amerika, itu gagal menjual 17 persen sahamnya ke
institusi Indonesia.
Lepas dari persoalan Newmont,
pengamat pertambangan Ryad Chairil sempat mempertanyakan keberadaan Pasal 112 UU Minerba mengenai divestasi
saham pertambangan. Pasal 112 ayat (1) menyebutkan, setelah lima tahun
berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh
asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah, pemerintah daerah, BUMN,
BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Dalam hal ini, Ryad mengatakan,
bagaimana kontraktor asing mau mendivestasikan sahamnya, jika keuntungan belum
mereka peroleh selama lima tahun�sejak IUP dan
IUPK dipegang. Ketentuan ini jelas menjadi ancaman bagi kontraktor asing yang
mau berbisnis tambang di Negeri ini. Pasalnya, investasi pengelolaan tambang
nilainya tidak kecil, ujar Ryad.
Namun pendapat Ryas sepertinya
tidak digubris oleh pemerintah. Dalam RPP ditegaskan perusahaan tambang yang
sahamnya dimiliki asing wajib melakukan divestasi saham setelah lima
tahun sejak berproduksi. Terkait hal ini, dalam RPP ditegaskan, (i) Pemegang
IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing, setelah lima tahun sejak
berproduksi wajib melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia
(pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta
Nasional secara bersamaan melalui pemilikan langsung); (ii) dalam hal
ada peminat sebagaimana maka akan diberikan prioritas kepada pemerintah,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD.
Lalu (iii) jumlah saham
yang didivestasikan sebesar 20 persen dari kepemilikan saham asing dan
dilakukan secara bertahap dengan rinciang sebagai berikut; (a) pada akhir tahun
keenam, sekurang-kurangnya 5 persen, (b) pada akhir tahun ketujuh,
sekurang-kurangnya 10 persen, (c) pada akhir tahun kedelapan,
sekurang-kurangnya 15 persen, (d) pada akhir tahun kesembilan,
sekurang-kurangnya 20 persen.
Kemudian (iv) Jumlah saham
yang didivestasikan sebesar 20 persen dari kepemilikan asing tidak termasuk
saham yang terdaftar di pasar bursa, baik bursa saham Indonesia atau luar
negeri; (v) Pengembangan atau perluasan investasi baru tidak boleh
mengurangi komposisi prosentase kepemilikan saham nasional sebagaimana dimaksud
pada angka 3; (vi) Penggabungan, peleburan atau pengambilalihan
kepemilikan IUP/IUPK, harus oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia yang
bergerak di bidang usaha pertambangan mineral dan/atau batubara.
Masih dalam RPP, pelaksanaan
divestasi akan dilakukan melalui enam tahap. Pertama, penawaran saham dilakukan selambat-lambatnya pada triwulan pertama
tahun keenam berproduksi. Kedua, harga saham yang ditawarkan juga harus dinilai
oleh independenter valuer. Ketiga, divestasi saham harus terlaksana
selambat-lambatnya pada triwulan keempat setiap tahunnya dimulai dari tahun
keenam berproduksi. Keempat, saham yang telah dimiliki oleh peserta Indonesia
tidak boleh dialihkan kembali kepada peserta asing.
Kelima, dalam hal ada penambahan
jumlah dalam modal saham perusahaan, pemegang saham Indonesia akan ditawarkan
saham baru sebandng dengan saham yang telah dipegang. Keenam, semua kewajiban
divestasi pemegang IUP dan IUPK akan dianggap telah dilaksankan sesudah tidak
kurang dari 20 persen saham yang ditawarkan dibeli oleh peserta Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar