PENDAHULUAN
Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang.
Manusia merupakan posisi kunci penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem). Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti pertanian dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin hebatnya kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling penting dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak.
Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Kegiatan manusia seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Hal ini menyebabkan lahan mengalami kerusakan. Akibatnya kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara esensial, pH rendah, pencemaran logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi aktifitas mikroba tanah.
Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelesatarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merestorasi ekosistem rusak. Dengan dilakukannya kegiatan tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih atau mendekati kondisi semula.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menguraikan tentang: ekologi restorasi, ekosistem rusak yang harus direstorasi, upaya merestorasi ekosistem rusak, dan alternatif apa yang dipilih untuk merestorasi ekosistem yang rusak. Tulisan ini juga lebih ditekankan pada lahan bekas tambang sebagai ekosistem rusak.
II. SEKILAS MENGENAI EKOLOGI RESTORASI
Salah satu bagian dari ilmu ekologi yang sangat berperan penting dalam kehidupan manusia adalah ekologi restorasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makluk hidup dengan lingkungannya, sedangkan restorasi berarti sebagai suatu perbaikan atau pemulihan. Jadi ekologi restorasi dapat diartikan sebagai suatu penerapan ilmu ekologi yang berupaya untuk memperbaiki atau memulihkan suatu ekosistem rusak atau mengalami gangguan, sehingga dapat pulih atau mencapai suatu ekosistem yang mendekati kondisi aslinya.
Untuk mertorasi ekosistem rusak, prinsip-prinsip dan pengetahuan ekologi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hal mendasar yang harus diketahui dalam memahami berbagai masalah dalam merestorasi suatu ekosistem yang rusak. Hal mendasar tersebut seperti : pengetahuan tentang spesies, komunitas dan ekosistem, ekotype, substitusi spesies, interaksi antar individu, spesies dan ekosistem, serta suksesi.
Merestorasi ekosistem rusak bertujuan untuk :
(1). Protektif; dalam hal ini memperbaiki stabilitas lahan, mempercepat penutupan tanah dan mengurangi surface run off dan erosi tanah,
(2). Produktif; yang mengarah pada peningkatan kesuburan tanah (soil fertility) yang lebih produktif, sehingga bisa diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk non-kayu (rotan, getah, obat-obatan, buah-buahan dan lain-lain), yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya, dan
(3). Konservatif; yang merupakan kegiatan untuk membantu mempercepat terjadinya suksesi secara alami kearah peningkatan keanekaragaman hayati spesies lokal; serta menyelamatkan dan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan potensial lokal yang telah langka.
III. LAHAN BEKAS TAMBANG SEBAGAI EKOSISTEM RUSAK
Dengan semakin majunya kemampuan manusia dalam mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan mustahil akan terjadi kerusakan lingkungan. Jika hal ini tidak diimbangi dengan upaya untuk merestorasi ekosistem tersebut, dikhawatirkan lingkungan akan rusak dan banyak terjadi bencana alam yang kelak akan merugikan kehidupan manusia itu sendiri.
Rusaknya ekosistem ulah manusia yang cenderung melakukan kegiatan tanpa menghiraukan dampak-dampak yang akan terjadi. Ekosistem yang rusak dapat diartikan sebagai suatu ekosistem ekologi yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti melindungi tanah, mengatur tata air, mengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.
Menurut Jordan (1985), Intensitas gangguan dikatogorikan ringan (apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, contohnya jika sebatang pohon besar mati dan kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak dan penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati), moderat (apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, contohnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya), dan berat (apabila struktur hutan rusak berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi dan penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, seperti areal pertambangan).
Berdasarkan ukurannya, gangguan dibagi menjadi gangguan kecil, sedang, dan besar. Sedangkan berdasarkan lamanya gangguan dapat diklasifikasikan menjadi gangguan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
IV. MERESTORASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Tahap-tahap yang harus diperhatikan dalam merestorasi lahan bekas tambang tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1. dampak negatif dari kegiatan pertambangan,
2. soil re-construction,
3. revegetation constrains,
4. strategi untuk merehabilitasi, dan
5. post mining land uses.
A. Dampak Negatif dari Kegiatan Pertambangan
Akibat adanya kegiatan, mengakibatkan dampak besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah akibat tidak adanya penutupan tajuk yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Disamping itu, juga mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati (gene pool), terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, terjadinya peningkatan erosi, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan. Jika hal ini dibiarkan, maka akan mengancam kehidupan manusia.
B. Soil Re-Construction
Untuk mencapai tujuan restorasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka perlu dilakukan beberapa upaya seperti : rekonstruksi lahan dan manajenem top soil. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Sebaiknya bahan-bahan galian dikembalikan keasalnya mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) disarankan berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi top-soil. Untuk memperoleh kwalitas top-soil yang baik, maka pada saat pengerukan, penyimpanan dan re-distribusinya harus dilakukan pengawasan yang ketat.
Re-alokasi top-soil pada lahan tanam bisa dilakukan secara lokal (per-lubang) atau disebarkan merata dengan kedalaman yang memadai. selain itu juga dilakukan revegetasi lahan kritis.
C. Revegetation Constrain
Strategi yang perlu diterapkan pada perbaikan kondisi tanah antara lain : perbaikan ruang tubuh, pemberian top-soil dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Hal utama yang harus diperhatikan dalam merestorasi lahan bekas tambang jika kita ingin mengadakan suatu penanaman tanaman adalah kendala tanah dan tanaman-tanaman lokal yang potensial. Menurut Bradshaw (1983), masalah-masalah yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas ini adalah masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi.
Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Akibat dari kegiatan pertambangan mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah, mempengaruhi stabilitas tanah dan bentuk lahan. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (ph), kekurangan unsur hara (seperti NPK dan magnesium), dan mineral toxicity. Untuk mengatasi PH yang rendah (berkaitan dengan ketersediaan posfat juga rendah) dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.
D. Strategi untuk Merehabilitasi
Untuk merehabilitasi lahan bekas tambang, diperlukan suatu strategi dalam memilih spesies. Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan suatu studi awal untuk melihat apakah spesies tersebut cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang karena tajuknya terbentuk dengan cepat dan daunnya mudah dikomposisi.
Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Menurut Lugo (1997), penanaman pohon-pohon akan memberi keuntungan bagi kegiatan rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan terjadinya suksesi “Jump-start” (permulaan yang sangat cepat), memberikan naungan, memodifikasi ekstrim dari kerusakan lahan. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka usaha-usaha seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, aplikasi teknik silvikultur yang benar, dan penggunaan pupuk biologis seperti pemberian mikroriza arbuskular perlu dilakukan.
E. Post Mining Land Uses
Dalam rangka mendukung upaya merestorasi lahan bekas tambang, masih dibutuhkan upaya penelitian, yaitu: bidang agriculture, horticulture, foresty (produktive dan protective), wild life conservation, dan recreation.
Untuk mengevaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, serasah yang terdekomposisi, pengurangan erosi, dan apakah tanaman tersebut dapat berfungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang kita capai dalam merestorasi lahan bekas tambang.
V. MIKORIZA SEBAGAI ALTERNATIF DALAM MERESTORASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Sebagai salah satu alternatif untuk merstorasi lahan bekas tambang, penggunaan mikoriza sangat diperlukan. Mikoroza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang cukup populer, yaitu cendawan mikoriza arbuskula yang dapat digunakan sebagai pupuk biologis. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) ini adalah salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas, dan kualitas tanaman utamanya tanaman yang ditanam pada lahan-lahan yang kurang subur, seperti lahan bekas tambang.
Kelebihan yang dimiliki oleh CMA ini adalah
kemampuannya dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro terutama
fosfat dan beberapa unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo. Oleh sebab itu,
maka penggunaan CMA ini dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk
mengefisienkan penggunaan pupuk buatan terutama fosfat. Untuk membantu
pertumbuhan tanaman reboisasi pada lahan-lahan yang rusak, penggunaan
tipe cendawan ini dianggap merupakan suatu cara yang paling efisien
karena kemampuannya meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan.
Beberapa penelitian lainnya juga membuktikan bahwa cendawan ini juga
mampu mengurangi serangan patogen tular tanah dan dapat membantu
pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, sehingga
penggunaannya dapat berfungsi sebagai bio-proteksi.
Keberadaan CMA di alam mutlak
diperlukan. Peranannya sangat penting dalam mengefektifkan daur ulang
unsur hara sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk
mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati. Selain
itu, CMA juga merupakan sumberdaya alam hayati potensial dan dapat
diisolasi, dimurnikan dan dikembangbiakan dalam biakan monosenic.
Melalui serangkaian penelitian di laboratorim dan pengujian di lapangan,
efektivitas isolat-isolat CMA untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan
kualitas tanaman dapat dimanipulasi dan ditingkatkan. Dengan cara
tersebut, maka dapat dihasilkan dan diseleksi isolat-isolat CMA unggul
yang teruji efektif. Isolat-isolat unggul tersebut dapat diproduksi dan
dikemas dalam berbagai bentuk inokulan yang dapat berfungsi sebagai
pupuk biologis yang murah tetapi cukup efektif dan bersahabat
lingkungan.
Produk ini dapat digunakan untuk membantu program reklamasi lahan bekas tambang dalam hal meningkatkan pertumbuhan. Aplikasi CMA
ini sebenarnya merupakan keutuhan ekologi karena pada prinsipnya
memanfaatkan sumberdaya alam hayati potensial untuk meningkatkan
produktivitas tanaman dengan teknologi yang sederhana, murah, dan ramah
lingkungan.
Pemilihan
jenis adalah tahap yang paling penting dalam upaya merestorasi lahan
bekas tambang. Pemilihan ini bertujuan untuk memilih spesies tanaman
yang disesuaikan dengan kondisi lahan yang akan direstorasi. Kunci utama
keberhasilan revegetasi adalah pemilihan jenis pohon yang tepat.
Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam didasarkan pada adaptabilitas,
cepat tumbuh, diketahui teknik silvikultur, ketersediaan bahan tanam,
dan dapat bersimbiosis dengan mikoriza.
Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh jenis tumbuhan yang terpilih, antara lain :
1. Mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi
pada
tahap awal jenis tumbuhan yang dipilih hendaknya mampu berdaptasi
dengan kondisi lingkungan setempat. Untuk lahan bekas tambang, kondisi
lingkungan yang ekstrim seperti ketersediaan unsur hara yang rendah,
suhu relatif tinggi, kamasaman tanah tinggi, drainase kurang baik,
kelembaban rendah, salinitas tinggi, dan intensitas cahaya tinggi
merupakan faktor-faktor lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam
memilih spesies yang akan digunakan untuk kegiatan restorasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara:
a. mengidentifikasi dan memilih jenis-jenis lokal potensial
b. mengevaluasi silvical characteristic jenis dengan kondisi lingkungan setempat
c. mengevaluasi jenis-jenis non-lokal yang telah tumbuh dilokasi setempat
d. melakukan spesies trial dan uji provenance
2. Cepat tumbuh
Jenis
cepat tumbuh biasanya tidak memerlukan syarat tumbuh terlalu rumit.
Kriteria ini penting karena akan terjadi penutupan yang cepat pada lahan
terbuka untuk mengurangi laju aliran permukaan dan erosi. Oleh karena
itu, jenis-jenis pionir pertumbuhannya cepat, sistem tajuknya melebar
dan berlapis serta memiliki sistem perakaran intensif.
3. Teknik silvikultur diketahui
Untuk
memudahkan pelaksanaan penanaman dan pemiliharaan lanjutan, maka teknik
silvikultur jenis-jenis terpilih perlu diketahui, terutama yang
berhubungan dengan perlakuan biji, teknik persemaian, waktu pemindahan
di lapangan sensitifitas terhadap toksisitas logam berat, dosis pupuk
yang diperlukan, toleransi terhadap cahaya, genangan air, dan hama
penyakit.
4. Ketersediaan bahan tanaman
Kriteria
ini perlu diperhatikan karena akan menentukan keberhasilan upaya dalam
restorasi. Bahan tanaman berupa benih, harus tersedia dalam jumlah yang
cukup dan berkualitas baik. Kelemahan utama dalam penggunaan jenis-jenis
lokal adalah masalah kelangkaan benih.
5. Dapat bersimbiose dengan mikroba
Mengingat
keadaan lahan kritis pada umumnya merupakan lahan marginal, maka
jenis-jenis yang akan ditanam dipilih dari jenis-jenis yang dapat
berasosiasi dengan bakteri penambat nitrogen atau bersimbiosis dengan
cendawan mikoriza, sehingga kebutuhan akan nitrogen dan fosfat tidak
sepenuhnya bergantung pada pemupukan.
Suksesi
secara alami memiliki tahap-tahap tertentu, yang terjadi secara
perlahan-lahan dan biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Penerapan kaedah suksesi menciptakan keseimbangan antara intervensi
manusia dengan usaha ekosistem untuk mendisain lingkungannya sendiri
(self design). Self design ini memberikan keuntungan dalam hal
memberikan daya tahan hidup pada kondisi awal trjadinya suksesi,
pemantapan kondisi hutan setelah fase awal suksesi, dan memerlukan
sedikit biaya (Lugo, 1997).
Pada
kegiatan restorasi lahan bekas tambang ini, fenomena alam tersebut akan
dicoba untuk dimodifikasi supaya tahapan suksesi (nudation, migrasi,
ecesis, agregation, evolution of community relationship, invation,
reaction, stabilization, dan klimaks) dapat berlangsung dengan cepat.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menanam jenis tanaman
tertentu secara berurutan seperti halnya yang terjadi pada fase-fase
dari suksesi alami.
A. Tumbuhan Penutup Tanah
Tumbuhan
penutup tanah yang dipilih dapat berupa semak maupun herba. Jenis-jenis
yang diutamakan adalah dari jenis kacang-kacangan, dapat bersimbiosa
dengan bakteri penambat nitrogen, memiliki perakaran yang kuat, serta
banyak menghasilkan
serasah, seperti: Centrosema, Tephrosia, Crotalaria, Indigofera,
Eupatorium, dan jenis lain yang sesuai. Tanaman-tanaman ini berguna
untuk mengurangi laju aliran permukaan (run-off), memperbaiki profil
tanah khususnya bagian top-soil, dan juga diharapkan akan ikut
memperbaiki iklim mikro.
B. Tumbuhan Jenis Klimaks
Untuk merestorasi lahan bekas tambang,
tumbuhan jenis klimaks merupakan tumbuhan yang utama digunakan.
Tumbuhan ini biasanya dari jenis pohon-pohonan yang karakteristiknya
yang sesuai dengan kriteria yang telah disebut di atas. Penanaman jenis
tanaman ini dapat dilakukan bersamaan dengan penanaman tumbuhan penutup
tanah maupun setelahnya. Setelah penanaman jenis tumbuhan ini diharapkan
keadaannya akan sama dengan tingkat fase ecesis dimana tumbuhan
tersebut akan mapan di tempat tersebut.
Setelah
tumbuhan tersebut menghasilkan buah dan biji diharapkan akan terjadi
agregasi (pengelompokan) dari tumbuhan tersebut dengan tumbuhan anakan
di sekitarnya. Dengan adanya vegetasi di tempat tersebut diharapkan akan
menarik satwa liar di sekitarnya yang akan membawa benih-benih lain
dari daerah sekitar untuk tumbuh dan kemudian akan berkolonisasi pada
lahan tersebut. Dengan demikian fase-fase selanjutnya dari suksesi
seperti reaksi perubahan habitat dan stabilitas akan dapat terus
berlangsung sampai mencapai klimaks.
VIII. KESIMPULAN
Dari Uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.
Ekologi restorasi merupakan penerapan ilmu ekologi yang berupaya untuk
memperbaiki atau memulihkan suatu ekosistem rusak atau mengalami
gangguan, sehingga dapat pulih atau mencapai suatu ekosistem yang
mendekati kondisi aslinya.
2.
Lahan bekas tambang dikategorikan sebagai ekosistem dengan intensitas
gangguan berat, berukuran besar, dan lama gangguan jangka panjang. Untuk
itu upaya restorasi diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan.
3.
Dalam upaya merestorasi lahan bekas tambang, diperlukan penanggulangan
secara fisik, kimia, dan biologi, seperti rekonstruksi lahan dan
manajemen top-soil, revegetasi lahan kritis, penggunaan mikoriza,
pemilihan jenis yang tepat, dan penerapan kaidah suksesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar